Sunday, March 04, 2012

Spring Rain

Akari menyesap es coklatnya. Ia bersandar di salah satu ambang jendela sekolah yang berada dekat tangga menuju lantai dua. Ia menatap hujan. Sekarang musim semi, dan hujan malah turun. Ia mendesah pelan. Sesungguhnya ia suka hujan, aroma tanah yang basah, suara kecipak genangan air yang terlindas ban sepeda, dan suasana lembabnya, ia suka. Tapi tidak begitu dengan hujan di musim semi. Hujannya merontokkan kuncup sakura. Membuatnya harus menunggu lebih lama apabila ingin menikmati guguran sakura di akhir musim semi. Dan hujan musim semi ini pula yang menyebabkannya tak bisa segera pulang ke rumah.


Gadis lima belas tahun itu melirik jam tangan perak yang melingkari tangan kirinya. Pukul 16.45. Kegiatan belajar mengajar sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Begitu pula dengan kegiatan klub. Mungkin sekarang hanya ia dan beberapa guru yang masih berada di sekolah.


Akari tidak mempunyai teman dalam artian yang ‘sesungguhnya’. Gadis itu terlalu pendiam untuk memulai suatu percakapan dengan teman-teman sekolahnya. Temannya yang ‘sesungguhnya’ bersekolah di sekolah yang berbeda dengannya. Mereka berteman sejak SMP, dekat, tak terpisahkan. Akari bisa menceritakan apapun pada Minami. Urusan keluarga, sekolah, cowok yang tengah ditaksirnya, dan hal-hal kecil yang tidak penting untuk dibicarakan. Biasanya ketika hari libur mereka sering bergantian menginap di rumah salah satu dari mereka. Menonton film, membaca buku, mengobrol, dan segala hal yang berhubungan tentang perempuan. Mereka rencananya akan besekolah di satu sekolah yang sama ketika SMA, akan tetapi karena beberapa pertimbangan orang tua, mereka terpaksa bersekolah di sekolah yang berbeda. Tapi hal itu lantas tak membuat mereka putus hubungan.


Akari merindukan Minami. Teman-teman di SMA tidak seperti yang diharapkannya. Teman-teman barunya itu lebih sering menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Tipikal ‘aku ada ketika kau senang’. Hal itulah yang membuat Akari lebih suka menghabiskan waktu istirahanya di perpustakaan ataupun makan siang sendirian di halaman belakang sekolah. Dan hal itu benar-benar membuatnya merasa seperti patung hidup di kelas.


Akari bercita-cita menjadi seorang penulis.  Ia telah dijejali ayahnya berbagai macam dongeng dari banyak negara sejak ia sudah bisa menbaca. Sampai saat ini ia paling menyukai dongeng tentang para peri Neverland. Tinker Bell, Terence, Silvermist, dan peri-peri cantik lainnya. Katakanlah ia kekanakan. Tapi itulah caranya untuk mencapai impiannya. Di mana ia harus bermimpi, kemudian bekerja keras, dan ia akan mendapatkan ledakan besar di akhir perjuangannya. Ia tak peduli apakah ledakan itu memunculkan kerusakan ataupun bias kembang api yang berwarna-warni. Setidaknya aku sudah mencoba, pikirnya.


Dongeng tak pernah lengkap tanpa sosok seorang pangeran dan cinta yang ‘happily ever after – hidup bahagia selamanya’. Dan itu pula yang selalu diinginkan Akari. Di mana suatu saat nanti ia akan bertemu cinta sejatinya dan hidup bahagia selamanya; sesederhana itu. Tapi pada kenyataannya hidup jarang sekali berpihak padanya.


Pada saat SMP Akari menyukai cowok yang kelasnya bersebelahan dengannya. Cowok itu pendiam (sama dengannya), pintar, dan segala hal yang tampak manis di mata Akari. Suatu hari Minami memaksanya untuk menyatakan perasaan sukanya, dan entah kenapa dengan bodohnya Akari menuruti paksaan Minami. Ketika itu yang didapat Akari hanya ‘Oh, begitu’. Singkat, tapi mampu membuat hatinya dilanda kegalauan selama berminggu-minggu.


Ketika masuk SMA Akari berjanji ia tak akan jatuh hati ke sembarang orang. Tapi janjinya itu bahkan sudah dalam ambang keretakan ketika hari pertamanya masuk sekolah.


Mereka bertemu di upacara penerimaan siswa baru. Lelaki itu duduk beberapa barisan di belakang Akari. Hanya dengan sekali pendang, hati Akari mulai berdesir. Mereka ditempatkan di kelas yang sama. Akari hampir melonjak kegirangan ketika lelaki itu melangkah memasuki ruang kelas (Akari sudah masuk ke kelas beberapa menit lebih awal). Mereka duduk bersebelahan. Akari di bagian tepi dekat jendela, dan lelaki itu berada di sebelah kanannya. Ah, nama lelaki itu tikus─nezumi.


Akari selalu membayangkan mereka dapat mengobrol dengan akrab. Seperti yang selalu dilakukan Nezumi kepada teman-teman lelakinya. Hanya saja lelaki itu susah untuk didekati. Selain karena ternyata lelaki itu sedikit pendiam, Akari juga tak memiliki cukup keberanian untuk berbicara dengannya. Kalaupun mereka berbicara, mereka hanya membahas masalah sekolah.


Akari selalu bertanya-tanya kenapa Nezumi sering membolos pada pelajaran Bahasa Jepang dan Home Economic. Suatu sore ketika pulang sekolah Akari berpapasan dengan Nezumi di depan supermarket dekat pertigaan tak jauh dari rumahnya. Laki-laki itu memakai kaos biru, jeans lusuh, dan topi baseball. Ia memakai sepatu dan membawa tas sekolahnya ketika itu. Akari sudah memanggilnya berkali-kali, tetapi lelaki itu tetap tidak menoleh (atau pura-pura tak dengar?).


Akari tidak yakin apakah ia benar jatuh hati pada Nezumi. Tak banyak hal istimewa pada lelaki itu. Hidungnya mancung dan matanya coklat. Dua hal yang membuatnya istimewa di mata Akari (kecuali kalau kebiasaan membolos juga disebut keistimewaan mungkin bisa masuk dalam hitungan), hanya itu. Selebihnya lelaki itu kurang lebih sama dengan anak cowok di kelasnya.


·
·
·


Akari melirik lagi jam tangan peraknya, pukul 17.02 dan hujan belum juga berhenti. Gadis itu menggerutu pelan sembari menyesap es coklatnya. Tetapi tak ada cairan yang melewati kerongkongannya. Ia membuka tutup plastik pada gelas plastiknya. Yang ditemukan hanya titik-titik es coklat yang menempel pada bagian dinding gelas. Ia menggerutu lagi, meremas gelas pastiknya, dan membuangnya asal ke arah tangga.


“Kau bisa dimarahi Kirisama-sensei kalau ketahuan membuang sampah sembarangan.” Akari melonjak pelan, suara itu benar-benar mengejutkannya. Ia menolehkan kepalanya dan mendapati Nezumi tengah berdiri di tangga paling bawah dengan menggenggam gelas plastik yang tadi dibuangnya.


“Apa yang sedang kau lakukan?”


“Apa yang tengah kau lakukan?”


Mereka menyebutkannya secara bersamaan. Nezumi menaiki tangga lalu membuang gelas platik itu ke tempat sampah yang berada tak jauh dari tempat Akari berdiam diri. Lelaki itu kemudian bersandar di ambang jendela di sebelah Akari. Menopang dagu.


“Kenapa tak pulang?” tanya Nezumi. Matanya menerawang ke langit yang semakin gelap.


Akari ikut-ikutan menopang dagunya. “Tadi ada kegiatan klub. Ketika akan pulang tiba-tiba saja hujan. Aku tak bawa payung.”


“Oh, begitu.”


Gadis berambut sebahu itu mencuri pandang kepada Nezumi melalui ekor matanya. Lelaki itu sedikit basah, sepertinya ia baru saja menembus hujan. Baju seragamnya dikeluarkan dan lengannya digulung sampai siku. Dasinya sudah tak dipakai lagi. Dan dua kancing atas kamejanya terbuka. Air menetes-netes dari ujung rambutnya. Tasnya terlihat sangat basah. Sepertinya lelaki itu menggunakan tasnya sebagai payung.


“Kau sendiri, apa yang kau lakukan?” Akari memberanikan diri untuk bertanya.


Nezumi menyisir rambutnya dengan jari sebelum menjawab. Membuat rambutnya tampak semakin berantakan. “Ada yang tertinggal.” Akari hanya mengangguk pelan.


Hening.


“Kau ikut klub apa?” Nezumi memecah keheningan. Sepertinya ia tak begitu nyaman dengan keheningan ini.


“Jurnalistik, di bagian majalah sekolah.”


“Aku tak pernah tertarik dengan majalah sekolah.”


Kata-kata Nezumi membuat gadis itu bertanya-tanya. “Kenapa?”


Nezumi menghela napas. “Isinya hanya omong kosong.”


Akari menolehkan kepalanya dengan cepat sampai lehernya terasa sedikit sakit. Sebagai penanggung  jawab majalah sekolah ia merasa tersinggung. “Maaf, tapi apa maksudmu dengan omong kosong?”


“Rubik cerita konyol, teka-teki silang, horoscope, dan ramalan percintaan. Itu omong kosong.”


Akari mengernyitkan dahinya. “Maksudmu?”


“Sebenarnya daya tangkap otakmu itu berapaa sih?” Nezumi bertanya seolah-olah dia pandai saja, membuat Akari mengeryitkan dahinya semakin dalam. “Rubik cerita konyol, buat apa membuat cerita yang jelas-jelas mempermalukan sesorang?”


“Tapi itu kan…,”


“Jangan memotong kalimatku.” Nezumi berdehem sebelum melanjutkan kalimatnya. “Rubik teka-teki silang, membuat anak-anak tak mendengarkan penjelasan guru. Dengan dalih ‘itu kan hanya majalah sekolah’ mereka bisa dengan nyaman membukanya ketika pelajaran berlangsung. Rubik horoscope, apa aku harus menjelaskan? Well, itu hanya untuk orang-orang yang percaya pada peruntungan. Dan rubik ramalan percintaan itu benar-benar membuatku susah. Ingat ketika rubik konyol itu menyarankan untuk memberi surat cinta kepada orang yang kita sukai? Itu membuatku repot tahu.”


Akari hanya bisa tercengung. Nezumi berbicara sebanyak itu? Wow. Keajaiban.


“Rubik cerita konyol kan tak benar-benar kejadian sungguhan,” ujar Akari, mencoba untuk protes.


Nezumi menggelengkan kepalanya. “Nama. Nama yang kalian pakai itu bisa membuat seseorang tersinggung.”


Akari terpekur. Ia tak pernah memikirkan  sampai sejauh itu. Selama ini mereka   (ia dan teman-teman klub jurnalistiknya) selalu mengambil secara random nama yang akan dipakai untuk cerita konyol. Tak disangka akan berefek seperti itu apabila ditelaah lagi.


Sou ka. Lalu bagaimana kau tahu kalau rubik teka-teki silang sering dimainkan saat pelajaran berlangsung?”


Nezumi sedikit terkekeh. “Aku ini anak nakal. Aku tahu apa yang anak-anak nakal lakukan.” Ada nada banga dalam kalimatnya barusan. Nezumi menolehkan kepalanya, menatap Akari lalu nyengir.


Akari tercengung. Ia tak menyangka orang yang jarang berbicara padanya akan menatapnya seperti itu. Lembut.


Gadis itu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. Berharap Nezumi tak akan mendengar degup jantungnya yang begitu kencang. Jantungnya seperti akan meloncat dari dadanya saat ini. Benar-benar membuatnya gugup.


“Kau bilang, kau direpotkan oleh surat cinta. Memangnya apa yang terjadi padamu?” tanya Akari ketika gadis itu sudah bisa menjinakkan degup jantungnya.


“Fansku. Mereka mengirimiku surat cinta. Lokerku jadi penuh tahu.”


Akari sedikit terbelalak. “Kau… punya fans?”


Kali ini Nezumi yang menolehkan kepalanya begitu cepat, sampai-sampai ia khawatir lehernya akan patah saat itu juga. “Hei, ada orang tampan yang duduk di sebelahmu dan kau tak menyadari ketampanannya?”


Akari menggeleng pelan. “Umm, aku. Bukannya aku tak menyadarimu, hanya saja… well… aku jarang memedulikan sekitarku.” Wajah Akari memerah. Ia tak menyangka mulut bodohnya akan mengucapkan hal memalukan kepada Nezumi.


“Begitu…” Nezumi menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti.


Hening (lagi).


Di luar semburat senja mulai terlihat. Dari sini mereka bisa melihat Izumo-san─penjaga sekolah mulai berjalan menuju bangunan sekolah dengan segerombol kunci di tangan kanannya. Hujan sudah mulai berhenti, tetapi masih menyisakan gerimis kecil.


“Sepertinya ini waktunya pulang,” ujar Nezumi.


Akari hanya mengangguk sebagai balasan.


“Kau mau pulang bersamaku? Aku bawa sepeda.” Tawaran Nezumi membuat Akari memerah lagi.


“Jangan repot-repot. Rumahmu kan berbeda arah dengan rumahku.” Gadis itu mencoba menolak tawaran Nezumi. Tetapi ia sendiri tak yakin apakah rumah Nezumi benar-benar berbeda arah dengan rumahnya.


“Kau ini benar-benar ya. Rumahku kan hanya berjarak dua gang dari rumahmu.” Nezumi menggeleng-gelengkan kepalanya. Gadis ini… benar-benar tidak memperhatikan sekelilingnya. Keterlaluan.


Semburat merah di wajah Akari semakin bertambah tebal. “Eh, benar kah?


“Hm!” Nezumi menganggukkan kepalanya. “Ayo pulang, Akari.”


Mereka menuruni tangga. Nezumi menggenggam tangannya. Wajah Akari benar-benar panas sekarang. Tadi Nezumi menyebutkan namanya. Hal itu membuat hatinya merasa hangat. Itu artinya, Nezumi menyadari keberadaannya…


·
·
·


Semilir angin senja sehabis hujan membawa hawa yang cukup dingin untuk membuat Akari sedikit menggigil. Hujan sudah benar-benar berhenti. Baru saja mereka melewati gerbang sekolah, hujannya kemudian berhenti. Dan Akari sangat bersyukur akan hal itu. Sekarang yang gadis itu pikirkan adalah mandi air hangat kemudian meminum segelas ocha panas.


“Akari,” panggil Nezumi. Mereka tengah melewati jalan kecil yang di sebelahnya kirinya terdapat sungai yang cukup lebar. Kata ayah sungai itu dijadikan sumber irigasi untuk sawah-sawah yang berada tak jauh dari kota kecil mereka. Bias matahari senja tampak begitu indah di air jernih sungai itu.


“Ya,” balas Akari. Ia siap mendengarkan.


Nezumi terdiam sebentar. “Kenapa kau begitu menutup diri? Maaf kalau pertanyaanku menyinggungmu.”


Akari tersenyum (tentunya Nezumi tak bisa melihat senyum itu, mereka berboncengan, ingat?). “Aku sendiri tak tahu.”


“Sayang sekali. Padahal kelihatannya kau orang yang menyenangkan.”


“Aku bukan orang yang menyenangkan,” sangkal Akari. Ia teringat teman-teman SMA-nya. Mereka hanya berbicara seperlunya saja kepadanya. Itu membuktikan kalau ia orang yang tak menyenangkan kan? Iya kan?


“Kenapa kau bisa menilai seperti itu?”


“Mereka hanya berbicara seperlunya padaku.”


“Dasar bodoh. Hal dasar seperti itu kan yang menentukan orang lain. Dan lagi, menurutku, itu juga karena kau saja yang irit bicara. Mereka kan tidak bisa terus-terusan menjadi orang yang memulai percakapan.”


Hening (lagi dan lagi).


Yang terdengar hanya kayuhan sepeda Nezumi. Mereka berbelok. Akari ingat itu belokan terakhir menuju rumahnya. Kenapa waktu terasa begitu cepat?


“Akari,” panggil Nezumi lagi.


“Ya.”


“Kalau aku memintamu menjadi kekasihku, apa yang akan kau lakukan?” Sayang sekali Akari tak bisa melihat wajah Nezumi. Kalau ia melihatnya, mungkin ia tak bisa membedakan tomat dengan wajah Nezumi sekarang.


Akari tak tahu ia harus menjawab apa. Ini kali pertama ada seseorang yang memintanya untuk menjadikannya kekasih.


“Aku hanya bilang kalau. Itu belum tentu benar-benar terjadi.” Dan sekarang Nezumi merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia bisa dengan bodohnya mengucapkan kalimat itu.


Ada sesuatu yang menarik isi perut Akira secara paksa. Dan hal itu terasa menyakitkan. “Aku akan memikirkannya dulu. Aku tidak terlalu akrab denganmu.” Gadis itu berusaha keras agar suaranya tidak terdengar bergetar.


“Begitu…”


Hening (lagi dan lagi dan lagi).


Nezumi merasa ia adalah cowok terbebal sekarang. Ia sudah melambungkan hati seorang gadis, tapi saat itu juga ia menarik hati itu ke bumi kuat-kuat. Sekarang kata-kata Suzuki kalau ia benar-benar bodoh dalam hal percintaan benar-benar terbukti.


Mereka sampai di rumah Akari. Rumahnya sepi. Sepertinya ayah belum pulang, pikir gadis itu.


“Terima kasih sudah mengantarku pulang.”


“Sama-sama.” Nezumi menggaruk pipinya yang tidak gatal, ia terlihat sedikit gugup.


Nezumi belum beranjak dari tempatnya. Dan Akari sedikit heran akan hal itu. Senja sudah hampir tenggelam digantikan malam. Akan lebih baik kalau Nezumi segera sampai di rumah.


“Besok pergi sekolah bersamaku ya?” pinta Nezumi. Laki-laki itu menatap Akari penuh harap.


Akari sedikit terkejut akan ajakan Nezumi. Apakah itu semacam ajakan kencan setiap pagi? “Hal itu akan merepotkanmu. Aku ti…”


“Aku senang direpotkan olehmu,” potong lelaki itu.


“Kalau kau tak keberatan. Well, baiklah.”


“Besok tunggu aku di sini,” pinta Nezumi lagi.


Akira mengangguk. Oke, kalimat Nezumi terdengar sedikit aneh ditelinganya. Tentu saja ia akan menunggunya di sini. “Aku tahu.”


“Kalu begitu aku pulang dulu. Dah…”


Nezumi sudah mengayuh sepedanya menjauh. “Dah…"


Nezumi tahu, seharusnya ia meminta maaf kepada Akari akan kata-kata ‘permintaan menjadi kekasih’nya tadi. Tapi toh masih ada banyak hari. Hari yang akan dihabiskannya bersama Akari…


Tamat (atau mungkin bersambung)




a/n
well, ini cerpen yang saya kumpulkan untuk tugas bahasa indonesia. masih jelek (saya tahu). kata teman saya endingnya masih menggantung. mungkin kapan-kapan akan saya buat lanjutannya =)


*) picture taken from weheartit.com
 

Designed by 100 Web Hosting